Sarkem alias Pasar Kembang Yogyakarta.
Sarkem! Mereka yang tinggal di Yogya pada era tahun 80—90-an pasti
tidak asing dengan kata ini. Ya, Sarkem alias Pasar Kembang —
INI SEPOTONG jalan persis di selatan Stasiun Tugu yang bermuara di Jalan Malioboro. Jika dari arah Jalan Abubakar Ali menuju Jalan Malioboro, maka Jalan Pasar Kembang ini seperti “terusan” Jalan Abubakar Ali ini. Letaknya sekitar 75 meter dari Hotel Garuda, hotel paling terkenal se-Yogya .

Sarkem, dulu, di zaman itu, identik dengan kemesuman. Benar inilah tempat para pelacur mangkal yang menyatu dengan hotel klas Melati sekaligus puluhan rumah penduduk –mirip dengan Dolly, Surabaya, tapi dengan skala “super mini.” Mereka ini memang tidak mangkal di Jalan Pasar Kembang, tapi gang-gang yang ada di sisi Pasar Kembang. Jadi, terkenallah tempat itu dengan nama “sarkem.”

Dulu, di tahun yang sama, di Yogya ada lokalisasi pelacuran terkenal, namanya Sanggrahan. Seperti Sarkem, ia kemudian mempunyai nama julukan lebih pendek, SG (tentu singkatan dari “sanggrahan.”).
Jelas beda pangsa pasar Sarkem dan SG. Sarkem kelas murahan. Perempuannya kebanyakan di atas 30 an atau bahkan di atas 40-an. Di bawah usia segitu -kata teman-teman yang sering keluyuran ke sana entah dengan tujuan apa- sangat jarang.
Soal “SG “ ini saya ingat saat kuliah dulu di Yogya. Waktu itu asrama kami kedatangan penghuni baru, mahasiswa baru dari luar Jawa. Saya memang tinggal di sebuah asrama di kawasan Jalan Abubakar Ali. Asrama kami, khusus untuk para mahasiswa bukan mahasiswi. Asrama khusus laki-laki.
Suatu hari teman baru ini “dikerjain” teman-teman asrama. “Ayo kita ke asrama putri daerah kita,” ujar seorang mahasiswa senior. Teman baru ini senang bukan kepalang. Di Yogya, bagi anak perantauan yang jauh dari sanak famili, tak ada yang lebih gembira mendapat teman sesama satu daerah.
Maka, singkat cerita, teman baru ini dibawa ke SG. Awalnya dia kagum melihat banyak perempuan yang dilihatnya dari luar, dari jalanan. Dia pikir kompleks itu asrama wanita sedaerahnya. Begitu dia tahu dia dibawa ke kompleks “P,” teman satu ini langsung shok. Memang keterlauan teman-teman saya ini. Sejak itulah ia sering diganggu sejumlah teman asrama. “Bagaimana? Mau ke asrama putri lagi?”
Sarkem mungkin berubah. Dua pekan lalu saya ke Yogya. Menginap di Hotel Garuda. Seperti biasanya, jika saya menginal di sebuah hotel di sebuah kota, saya akan mengundang teman-teman yang ada di kota itu untuk “menemani” saya. Kemarin pun begitu. Teman asli Wonosari ini menemani saya menghabiskan malam di Yogya. Dan bersama-sama kami makan “sego kucing” dan kopi jos di samping Stasiun Tugu yang terkenal itu, juga bersilaturahmi ke seorang teman perempuan yang suaminya –sahabat saya- baru meninggal beberapa bulan sebelumnya. Kami berbincang ditemani anaknya yang sudah kuliah.
Di rumah yang sepi itu, di teras biasa saya dulu berbincang dengan sahabat saya -teman mendaki gunung dan “ke sana-ke mari selama berbilang tahun di Yogya” – saya merasa tiba-tiba begitu rindu pada sahabat saya itu. Ya, waktu demikian cepat berlalu. Saat meninggal, saya tidak bisa datang. Saya berdoa, semoga istrinya –yang juga adik kuliah saya itu- kuat menghadapi hidup ini.
Begitulah, pagi harinya saya menelusuri Sarkem. Malam sebelumnya saya sekilas sempat melintas di situ. Tak terlihat ada perempuan yang biasanya berdandan menor (atau saya yang tidak melihat? Atau mereka menghilang karena musim liburan?).

Pagi pukul 6 itu, gang-gang Sarkem sepi. Jika malam tempat ini –dulu- ramai. Itu karena di sana ada café Superman yang banyak dijejali orang bule yang mungkin berkantong pas-pasan atau tidak berlebihan.

Saya berkeling Sarkem. Keluar masuk Sarkem. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Mungkin semua masih tidur. Tapi, saya melihat “kampung Sarkem” ini tetap tak berubah dalam arti sebagai kampung turis kelas “jalan kaki.” Penginapan murah masih ada (seperti juga dulu). Café Superman juga masih ada. Juga berbagai jasa wisata. Semua itu, terutama, ditujukan untuk turis yang dulu sering kami juluki “turis kelas sandal jepit” –mereka yang tidak tidur di hotel mewah dan ke mana-mana sering naik sepeda ontel.


Saya tidak tahu apakah tak ada lagi perempuan “P” di Sarkem. Seorang teman berkata, “Sarkem sudah berubah.” Mudah-mudahan benar, berubah dalam arti tak ada lagi prostitusi di sana…
sumber : https://catatanbaskoro.wordpress.com/2014/07/06/sarkem-alias-pasar-kembang-yogyakarta/
INI SEPOTONG jalan persis di selatan Stasiun Tugu yang bermuara di Jalan Malioboro. Jika dari arah Jalan Abubakar Ali menuju Jalan Malioboro, maka Jalan Pasar Kembang ini seperti “terusan” Jalan Abubakar Ali ini. Letaknya sekitar 75 meter dari Hotel Garuda, hotel paling terkenal se-Yogya .

Sarkem, dulu, di zaman itu, identik dengan kemesuman. Benar inilah tempat para pelacur mangkal yang menyatu dengan hotel klas Melati sekaligus puluhan rumah penduduk –mirip dengan Dolly, Surabaya, tapi dengan skala “super mini.” Mereka ini memang tidak mangkal di Jalan Pasar Kembang, tapi gang-gang yang ada di sisi Pasar Kembang. Jadi, terkenallah tempat itu dengan nama “sarkem.”

Dulu, di tahun yang sama, di Yogya ada lokalisasi pelacuran terkenal, namanya Sanggrahan. Seperti Sarkem, ia kemudian mempunyai nama julukan lebih pendek, SG (tentu singkatan dari “sanggrahan.”).
Jelas beda pangsa pasar Sarkem dan SG. Sarkem kelas murahan. Perempuannya kebanyakan di atas 30 an atau bahkan di atas 40-an. Di bawah usia segitu -kata teman-teman yang sering keluyuran ke sana entah dengan tujuan apa- sangat jarang.
Soal “SG “ ini saya ingat saat kuliah dulu di Yogya. Waktu itu asrama kami kedatangan penghuni baru, mahasiswa baru dari luar Jawa. Saya memang tinggal di sebuah asrama di kawasan Jalan Abubakar Ali. Asrama kami, khusus untuk para mahasiswa bukan mahasiswi. Asrama khusus laki-laki.
Suatu hari teman baru ini “dikerjain” teman-teman asrama. “Ayo kita ke asrama putri daerah kita,” ujar seorang mahasiswa senior. Teman baru ini senang bukan kepalang. Di Yogya, bagi anak perantauan yang jauh dari sanak famili, tak ada yang lebih gembira mendapat teman sesama satu daerah.
Maka, singkat cerita, teman baru ini dibawa ke SG. Awalnya dia kagum melihat banyak perempuan yang dilihatnya dari luar, dari jalanan. Dia pikir kompleks itu asrama wanita sedaerahnya. Begitu dia tahu dia dibawa ke kompleks “P,” teman satu ini langsung shok. Memang keterlauan teman-teman saya ini. Sejak itulah ia sering diganggu sejumlah teman asrama. “Bagaimana? Mau ke asrama putri lagi?”
Sarkem mungkin berubah. Dua pekan lalu saya ke Yogya. Menginap di Hotel Garuda. Seperti biasanya, jika saya menginal di sebuah hotel di sebuah kota, saya akan mengundang teman-teman yang ada di kota itu untuk “menemani” saya. Kemarin pun begitu. Teman asli Wonosari ini menemani saya menghabiskan malam di Yogya. Dan bersama-sama kami makan “sego kucing” dan kopi jos di samping Stasiun Tugu yang terkenal itu, juga bersilaturahmi ke seorang teman perempuan yang suaminya –sahabat saya- baru meninggal beberapa bulan sebelumnya. Kami berbincang ditemani anaknya yang sudah kuliah.
Di rumah yang sepi itu, di teras biasa saya dulu berbincang dengan sahabat saya -teman mendaki gunung dan “ke sana-ke mari selama berbilang tahun di Yogya” – saya merasa tiba-tiba begitu rindu pada sahabat saya itu. Ya, waktu demikian cepat berlalu. Saat meninggal, saya tidak bisa datang. Saya berdoa, semoga istrinya –yang juga adik kuliah saya itu- kuat menghadapi hidup ini.
Begitulah, pagi harinya saya menelusuri Sarkem. Malam sebelumnya saya sekilas sempat melintas di situ. Tak terlihat ada perempuan yang biasanya berdandan menor (atau saya yang tidak melihat? Atau mereka menghilang karena musim liburan?).

Pagi pukul 6 itu, gang-gang Sarkem sepi. Jika malam tempat ini –dulu- ramai. Itu karena di sana ada café Superman yang banyak dijejali orang bule yang mungkin berkantong pas-pasan atau tidak berlebihan.

Saya berkeling Sarkem. Keluar masuk Sarkem. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Mungkin semua masih tidur. Tapi, saya melihat “kampung Sarkem” ini tetap tak berubah dalam arti sebagai kampung turis kelas “jalan kaki.” Penginapan murah masih ada (seperti juga dulu). Café Superman juga masih ada. Juga berbagai jasa wisata. Semua itu, terutama, ditujukan untuk turis yang dulu sering kami juluki “turis kelas sandal jepit” –mereka yang tidak tidur di hotel mewah dan ke mana-mana sering naik sepeda ontel.


Saya tidak tahu apakah tak ada lagi perempuan “P” di Sarkem. Seorang teman berkata, “Sarkem sudah berubah.” Mudah-mudahan benar, berubah dalam arti tak ada lagi prostitusi di sana…
sumber : https://catatanbaskoro.wordpress.com/2014/07/06/sarkem-alias-pasar-kembang-yogyakarta/
Halo Bos! Selamat Datang di ArenaDomino.com
BalasHapusArenadomino Situs Judi online terpercaya | Dominoqq | Poker online
Daftar Arenadomino, Link Alternatif Arenadomino Agen Poker dan Domino Judi Online Terpercaya Di Asia
Daftar Dan Mainkan Sekarang Juga 1 ID Untuk Semua Game
ArenaDomino Merupakan Salah Satu Situs Terbesar Yang Menyediakan 9 Permainan Judi Online Seperti Domino Online Poker Indonesia,AduQQ & Masih Banyak Lain nya,Disini Anda Akan Nyaman Bermain :)
Game Terbaru : Perang Baccarat !!!
Kini Hadir Deposit via Pulsa Telkomsel / XL ( Online 24 Jam )
Min. DEPO & WD Rp 20.000,-
Wa :+855964967353
Line : arena_01
WeChat : arenadomino
Yahoo! : arenadomino
INFO PENTING !!!
Untuk Kenyamanan Deposit, SANGAT DISARANKAN Untuk Melihat Kembali Rekening Kami Yang Aktif Sebelum Melakukan DEPOSIT di Menu SETOR DANA.